Kopi dan Ekstasi untuk dipaksa produksi dan relaksasi

​Enggak, gue gak bener-bener konsumsi obat-obatan terlarang, tapi suplemen dan doping yang gue konsumsi seakan bersifat seperti itu, karena tujuannya untuk membuat gue semakin produktif dan kreatif.

Perjalanan gue dengan produktivitas udah bermula sejak jaman kuliah. Dulu, pas mau begadang, gue bener-bener kepengen ada yang membantu gue biar gak ngantuk dan tetep bisa kerja, mengejar deadline dengan lancar, terlepas dari episod depresif yang gue alami saat itu. Dari situ, gue mulai melakukan riset pribadi tentang berbagai jenis zat, mulai dari kafein, taurin, dan omega-3.

Pada saat kuliah, gue memilih mengkonsumsi kafein dan taurin melalui minuman berenergi (semacam Kratingdaeng atau Red Bull). Kayaknya di postingan masa gue kuliah, gue juga sempat menceritakan perjalanan ini. Tapi malah saat itu, bukannya gue jadi melek, malah ngantuk dan gak kerja. Emang aneh ini badan ya, hahaha. Tapi ternyata obat begadang yang paling mujarab adalah kesadaran bahwa besok, kerjaan ini harus selesai. Baru deh bisa begadang.

Tahun ke-5 gue kuliah, gue berhentikan itu semua. Selain karena kehidupan gue berubah total (dengan meninggalnya Bokap), gue menjalani perkuliahan dari rumah. Nyokap selalu hadir untuk meyakinkan gue menjalani perkuliahan dengan disiplin. Beliau memastikan gue tidak bergadang, dan hanya mengijinkannya saat ada pengumpulan besar. Dengan strategi itu, I survive.

Sebelum gue diterima masuk di kantor konsultan desain, gue memulai belajar minum kopi. Belajar cara pemrosesan kopi, jenis kopi yang aman untuk lambung gue, dsb. Walhasil saat gue masuk ke kantor, kopi menjadi sebuah budaya yang gue pikir bisa gue lakukan.

Ternyata enggak, dan gak cukup.

Kantor, menuntut gue untuk bisa menghasilkan desain ciamik dengan waktu yang relatif singkat. Nggak ada yang salah sebenernya, namun gue mulai sadar kalau gue gak punya kompetensi di bidang itu. Ada masanya gue stress, gue panik, gue meragukan diri gue sendiri, dan akhirnya gak bisa fokus. Mengkonsumsi kopi membuat hal tersebut makin parah, dan gue justru makin jatuh ke jurang.

Akhirnya gue mencoba mengkonsumsi suplemen lain, yakni Nootropics.

Ya, yang katanya “smart drugs” itu.

Ya, gue sudah se-desperate itu.

Riset gue lakukan. Perbandingan antar zat gue selidiki. Gue menebak-nebak, dengan kebutuhan gue untuk berpikir tenang, fokus, dan kreatif, zat apa yang harus gue konsumsi. Gue memutuskan untuk mengkonsumsi Fasoracetam.

Fasoracetam sendiri pernah gagal saat melakukan uji efikasi untuk pasien penderita Demensia. Namun saat ini sedang diuji untuk menjadi salah satu suplemen ADHD. Dari situlah gue akhirnya memilih Fasoracetam.

Pertama kali gue meminum suplemennya, gue was was. Karena ini sama aja kayak gue mengkonsumsi obat terlarang, untuk kepentingan produktivitas. Tapi setelah gue konsumsi, gue menjadi tenang. Dibilang bisa fokus sih gak terlalu, tapi ada semacam placebo effect dimana gue merasa yakin bahwa gue bisa melakukan tugas-tugas ini.

Dalam perjalanannya, gue tetap melakukan riset. Aniracetam, zat nootropics lain, juga sempat menjadi pilihan. Gue sempat mencoba mengkonsumsi dua zat itu secara bersamaan, namun efeknya menurut gue justru berkebalikan. Sehingga penambahannya gue batalkan.

Namun, alasan gue menulis postingan ini, bukan untuk meng-encourage penggunaan Nootropic atau meminum kopi, justru sebaliknya.

Bayangkan.

Demi mencapai performance yang minimum di kantor, gue harus meminum zat suplemen yang, sebenernya belum teruji dan skeptikal. Demi bisa keep up dengan tuntutan, demi bisa menghasilkan desain ciamik, gue harus mengkonsumsi itu. Setiap bulannya, gue harus keluar kocek Rp300.000 untuk membeli obat-obatan yang non alamiah, dan belum teregulasi dengan baik.

Bayangkan.

Dua tiga minggu yang lalu, gue ada di kondisi paling bawah. Gue gak punya uang sama sekali, begitu juga nyokap. Mau gak mau, gue harus mengurangi pengeluaran, salah satunya untuk nootropics ini. Sehingga saat fasoracetam gue habis, gue tidak mengkonsumsinya lagi. Ternyata, hingga saat ini, selain dari gue jadi sedikit kesulitan fokus, nggak ada yang berbeda.

Ternyata bukan obat yang membuat gue jadi meningkat performanya, melainkan diri gue sendiri. Jam terbang dari gue sendiri, pembelajaran dari gue sendiri, yang membuat gue jadi seperti sekarang.

Bukan obat.

Gue pun pindah ke hal lain yang lebih sehat. Misalnya olahraga, mendengarkan brown noise, omega 3 dan vitamin D. Hal-hal yang membantu gue fokus.

Juga, gue rasa, gue sudah tidak dikejar-kejar setan lagi, karena tanggal 22 Juli nanti adalah hari terakhir gue bekerja di kantor ini. Mungkin, untuk beberapa saat, gue ingin beristirahat dulu (kalau memungkinkan).

Gue harap, kedepannya, I don’t have to go through this phase of misabusing drugs, ever again.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jadi, Gue Putusin Stop Main Sosmed Seminggu, dan Ini yang Gue Rasain

Belajar menulis untuk belajar berpikir.